dike-JAKARTA-kan

20120309-122520.jpg
Sumber foto: Jakarta City Light

J A K A R T A
Saya sering prihatin dengan status facebook atau twitter teman-teman yang tinggal di Jakarta. Berangkat kerja mereka mengeluhkan macet. Pulang kerja mereka pun mengeluhkan macet.
Kala itu saya merasa bersyukur karena tidak berada di sana. Saya begitu berbahagia bukan bagian dari kota yang bersimbah kutukan dari penghuninya. Saya pun tak bercita-cita tinggal di Ibu Kota yang katanya jauh lebih kejam dari ibu tiri Cinderella.
Sampai suatu sore, teman-teman saya memberi selamat pada saya atas kepindahan saya ke Jakarta. “Apa? Yang bener aja! Baru juga 6 bulan di Sukabumi, mana mungkin dipindah lagi,” begitu jawa saya kepada semua yang menghubungi saya. Tapi lama-kelamaan berita itu terlalu akurat jika hanya sebatas gosip. Biasanya menjelang rotasi memang didahului dengan gosip yang semerbak seperti sedap malam.
Saya beranikan diri menelepon kantor. Melalui operator saya tanya, apakah ada surat untuk saya dari Bandung (kantpr pusat kantor saya). “Ada nih, mungkin besok sampainya,” kata kang Jajang yang suaranya sudah saya kenal akrab.
“Kang tolong bacain,” kata saya cemas.
“Iya ini mah surat tugas. Katanya dipindah ke Jakarta,” kata Kang Jajang.
Jeng jeng! Persendian saya lemas.
“Iraha (kapan dalam Bahasa Sunda) mulaina?” tanya saya tanpa daya.
“Per 1 Juli,” sambung dia.
Itu berarti lusa, gumam saya. Saya memandang teman wartawan saya yang lagi sama-sama nongkrong di warnet Sukabumi.
Saya belum siap meninggalkan kenyamanan saya di Sukabumi. Liputan yang mengasyikkan, teman-teman yang menyenangkan, dan kos yang sangat nyaman.
Segera pulang ke kos, memandangi semua isinya. Saya bingung berbenah dari mana. Saya tak kunjung mengemasi barang-barang. Tidak hari ini, kata saya dalam hati.
Tapi saya tak kuasa menunda perintah atasan. Sebagai pion, diletakkan di mana saja tak bisa saya menolak. Sejak awal, yang saya dengar, haram menolak tugas. Akhirnya tanggal 1 Juli saya pun menginjakkan kaki di Jakarta untuk menyiapkan semuanya. Baru tanggal 4 Juli, saya resmi pindah ke Jakarta.
Maka, di sini lah saya. JAKARTA.
Pusat dari negara bernama Indonesia.
Tapi, apakah saya merasakan Indonesia di sini? Hemmhhh… kita lihat nanti…

Ke(tidak)adilan Bagi Mereka

Saya menyukai Sukabumi. Sangat!

Berpuluh-puluh kilometer perjalanan yang ditempuh untuk satu liputan, tak pernah ada pemandangan yang mengecewakan. Oke, memang ada macet. Utamanya di depan pasar-pasar tradisional. Tapi di balik pasar ruwet itu ada gunung yang terbaring begitu indahnya. Suatu saat saya naik ke puncak gunung untuk melihat kebun tomat. Awannya luar biasa indah… Perpaduan warna biru dan putih yang menawan… Sekarang saya tahu kenapa ada warna biru langit. Birunya aduhai!

Selain pemandangannya, saya merasa beruntung berada di Sukabumi. Saya bertemu orang-orang yang sangat baik. Kawan-kawan wartawan di sini baik-baik. Umumnya laki-laki. Seringnya saya perempuan sendiri waktu liputan. Sebagai orang baru, saya merasa diterima dengan baik. Mereka tak pernah segan memberitahu tentang banyak hal. Seringkali – kalau tak mau dibilang selalu – saya dibonceng saat liputan. Pertama karena belum hapal jalan, kedua karena mereka iba pada saya J

Di sepanjang perjalanan itu kami bertukar kisah. Bagaimana pergulatan mereka yang mayoritas berstatus kontributor televisi. Di setiap peliputan, wartawan televisi selalu mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Rupanya banyak yang dari mereka yang ingin masuk televisi. Makanya ketika kamera dikeluarkan, seperti mantra yang menyihir kaum awam. Gagah, begitu mungkin penilaian mereka.

Saya setuju kalau mereka dinilai gagah. Bukan hanya karena memanggul kamera. Tetapijuga etos kerja yang luar biasa. Bayangkan, jam berapapun ada peristiwa mereka siap siaga. Tak peduli anaknya sedang merindu karena bapaknya jarang di rumah. Tak peduli istri minta antar ke pasar. Bahkan tak peduli dengan perut yang sedari siang belum diisi nasi. Tak peduli terikany matahari, ataupun kelamnya malam. Demi gambar berkualitas wahid, mereka rela menanggalkan berbagai keinginan mereka.

Sebenarnya kebutuhan saya sebagai jurnalis media cetak, tidak sama percis dengan mereka, tapi dengan semangat mengenali wilayah lebih baik, saya sering ikut mereka. Toh saya di Sukabumi tak ada kegiatan lain.

Suatu kali akang yang membonceng saya bercerita panjang lebar tentang susahnya jadi kontributor televisi. Bagaimana hari-harinya dilewati dengan membatin berapa berita yang sudah ditayangkan. Dan mengeluhkan kenapa honor tak cair tepat waktu. Saya sempat geleng-geleng, sebab media yang mempekerjakannya adalah media televisi nasional yang popularitasnya tidak diragukan lagi.

“Kamu tahu gaji si X (dia menyebut seorang anchor), gajianya bisa puluhan juta,” katanya.

Ada ketidakadilan yang sudah membudaya. Kontributor daerah itu kerjanya luar biasa, tapi dia hanya dihargai setiap berita yan ditayangkan. Tak ada asuransi jiwa yang memadai. Tak ada tunjangan untuk keluarga. Tak ada bonus. Tak ada tunjangan transportasi atau uang makan.

Kalau berita mereka dianggap bagus, stasiun televisi itu akan mendatangkan tim dari Jakarta. Mereka membuat peliputan yang lebih komplit. Penilaian saya, kontributorlah yang punya peran penting!

Tapi apa balasan stasiun televisi itu? Bahkan status karyawan pun tak diberikan. Ironis!

Ketika mereka meliput buruh yang berteriak meminta tunjangan, mereka pun tak pernah berhak atas tunjangan.

Stasiun televisi juga jarang yang memberikan pelatihan atau semacam pendidikan bagi kontributor mereka. Mereka belajar mengoperasikan kamera sendiri. Belajar membuat naskah sendiri. Semuanya berguru pada pengalaman.

Tapi banyak juga kontributor yang sudah mapan. Sehingga bisa mengambil stringer. Juga diupah sesuai dengan berita yang ditayangkan, tentu saja atas nama kontributornya.

“Persis seperti jualan berita,” ujar kawan saya tadi.

Sedih rasanya mendengar itu. Keletihan kami sama. Risiko yang kami hadapi sama besarnya. Tapi setidaknya saya tak pernah memusingkan berapa berita yang dimuat. Setiap bulan saya menerima gaji dan tunjangan yang tidak bisa saya bilang kecil, meskipun bagi orang lain barangkali tak bisa disebut besar juga. Tapi ada kepastian. Saya punya hak dan kewajiban yang jelas.

Bahkan ada stringer televisi lokal yang belum dibayar meski sudah liputan beberapa bulan. Alasannya, karena biro yang baru saja dibuka di Sukabumi belum beroperasi. Sedih L

Kondisi seperti itu, berdampak pada banyak hal. Misalnya, ketika bertemu dengan nara sumber yang kemudian memberi “uang saku”. Sungguh sebuah rezeki yang sulit ditolak. Apalagi jika bulan itu berita sedang sepi.

Saya tidak menyalahkan mereka. Saya tidak mau memaksakan kondisi ideal atas nama kode etik. Mereka punya tuntutan hidup yang tak pernah bisa dicegah. Saya bisa menolak karena saya sudah merasa cukup dengan gaji saya yang tidak seberapa itu.

Kalau mau idealis, perusahaan punya tanggung jawab untuk memperbaiki sistemnya. Jangan Cuma mentereng di Jakarta, sementara di daerah mereka membiarkan kontributornya sebagai anak tiri. Mau hasil kerjanya, tapi tak mau bertanggung jawab.

Saya bersyukur, meskipun surat kabar tempat saya bekerja bukan media nasional. “Hanya” skala Jawa Barat, tapi mereka tidak membiarkan kami terkatung-katung. Itu pun kami masih sering mengeluh. Kurang ini, kurang itu. Tak pernah ada kata puas. Makanya masih banyak wartawan yang sudah digaji layak pun masih saja terima uang dari sana-sini. Membuat proyek sampingan sampai sampai menjual halaman. Menyedihkan!

Di Sukabumi saya belajar banyak. Tentang kerja keras dan syukur….

Sungguh tak pantas saya bermalas-malasan… atau mengeluhkan tentang banyak hal… Hidup tidak sekadar untuk diratapi…

Bergerak dan berbuat…

Untuk kawan-kawan kotributor televisi di manapun kalian berada…

Rasa hormat setinggi-tingginya atas kesanggupan menapaki hidup seperti itu… Hidup penuh dengan ketidakpastian, benarlah adanya. Namun tak pernah ada kata menyerah… Semangat!

Bahagia

Hari ini. Aku Bahagia.
Berjumpa dengan mereka. Menatap wajahnya. Melihat matanya. Berada di tengah-tengah mereka. Memandangi setiap sudut ruangannya. Meneguk air dari cangkirnya.

Kini aku tahu, dari mana kebaikan itu berasal. Dari mana kesahajaan itu diajarkan. Dari mana perjuangan itu bermula. Dari mana keberhasilan itu diupayakan. Dari mana segala hal luar biasa itu dicontohkan.

Aku bahagia. Berada di sana.

Jika setelah ini mereka akan lupa kehadiranku hari ini, tak apa. Atau mungkin, jika tangan terbuka itu perlahan menciut karena pada satnya mereka tahu aku tak seperti yang mereka mau, pun tak apa.

Aku bahagia. Pernah berada di sana.

Aku tak akan melupakan hari ini. Aku bahagia.

Tuhan, terimakasih…

Maafkan Saya (Sesat)…

Lelaki berkaos biru bercelana kain hitam itu menghampiri kami, beberapa

wartawan yang menunggunya di Masjid Bilal, Kota Sukabumi. Masjid itu

terletak sekitar 10 meter dari kediamannya. Di dekat masjid itu ada

semacam sekretariat yang isinya ada televisi, seperangkat meja kursi dan

buku-buku yang tersusun rapi di rak.

Senyum ramahnya mendatangi kami sejurus dengan langkahnya yang semakin

mendekat. Ia ulurkan tangannya bersalaman. Ia memperkenalkan diri

sebagai Mubaliq Ahmadiyah untuk wilayah Sukabumi dan Cianjur. Namanya

Dili Sadeli Fathol Ahmad.

Kami mulai berbincang. Dia mulai mengungkapkan sikapnya terkait Tragedi

Cikeusit yang menghilangkan nyawa 4 orang jamaah Ahmadiyah. Singkatnya,

tak akan ada penggalangan massa. Soal pengamanan, ia menyerahkan kepada

aparat kepolisian.

Ah.. bagaimana mungkin dia masih percaya dengan aparat kepolisian.

Sementara dari yang sudah-sudah, tidak banyak yang bisa dicegah. Tapi

kan polisi di sana dan di sini beda. Barangkali di daerah lain polisi

tak bisa lagi dipercaya, tapi di Kota Sukabumi tidak begitu. Polisi

masih menjadi tumpuan.

Di tengah-tengah perbincangan kami, mata saya terjebak pada tulisan yang

tertera di bagian belakang kaos yang dikenakan Dili.

CINTA UNTUK SEMUA ORANG
TIDAK ADA KEBENCIAN BAGI SIAPAPUN

Sadarkah dia dengan tulisan yang ia kenakan?
sementara faktanya, baru dua hari sebelumnya saudara yang memeliki

keyakinan sama dengannya diberangus massa. Empat orang kehilangan

nyawanya demi sesuatu yang mereka yakini. Keyakinan yang dianggap

melenceng oleh mereka yang menamakan dirinya “mainstream”.

Jika aku menjadi Dili, saya akan tanggalkan kaos itu. Tak akan pernah

aku pakai lagi selama kebencian itu masih dipupuk bahkan dilembagakan.

Hati saya masih perih. Tak sudi aku mengagung-agungkan cinta jika yang

aku tuai adalah kebencian dan kemarahan.

“Saya menghormati pendapat orang lain. Siapapun boleh berpendapat di

negara ini. Tapi persoalan keyakinan adalah domain Tuhan. Tidak ada yang

bisa mencampuri keyakinan seseorang,” katanya menanggapipernyataan

pemuka salah satu organisasi agama yang menginginkan Ahmadiyah menjadi

agama baru dan melepas atribut ke-Islam-an.

“Kami shalat lima waktu, syahadat kami sama, kiblat kami sama, kitab

suci pun sama. Saya ini Islam. Apakah saya harus mengingkari keyakinan

saya sebagai orang Islam?”

Saya tercekat. Saya tidak bisa menjawab apapun meskipun saya ingin

bilang “Anda benar”. Saya menunduk. Saya merasa dia lebih Islam dari

saya. Tapi mereka yang harus dikejar dan dijadikan sasaran amuk massa.

Seseorang yang belakangan saya tahu berasal dari kepolisian menghentikan

pembicaraan kami dengan Deli. Seorang bapak-bapak, usianya lebih dari 50

tahun. Janggutnya putih. Ia mengenakan kopyah putih, sehingga tak tampak

apakah rambutnya pun berwarna putih atau tidak. Ia meyebutkan nama, tapi

saya hanya mendengarnya samar. Ia mengaku asli Padang.

Gurauannya tentang jenggot mengantarkan kami masuk pada pembicaraan yang

lebih serius. “Saya ini dulu ikut jemaah tablig. Saya juga pernah ikut

berbagai organisasi, mulai dari Persatuan Islam dan Muhamadiyah. Tapi

kemudian daya berhenti di Ahmadiyah. Di sini saya menemukan kekhusyukan

menjalankan syariat Islam,” kata bapak itu yang mengaku bergabung dengan

Ahmadiyah sepuluh tahun silam.

“Selama ini kami sudah banyak difitnah. Kami dibilang mengakui nabi lain

setelah Muhamad. Padahal tidak pernah sekalipun kami menyebut Mirza

Ghulam Ahmad sebagai nabi. Kami disangka naik haji ke India. Kiblat kami

katanya berbeda. Padahal tidak begitu. Sebelum masuk Ahmadiyah saya

berdebat dulu. Saya tidak bodoh sehingga mau masuk begitu saja. Fiqih

saya kuat, sejak kecil saya sekolah agama. Kalau syahadatnya lain dengan

Islam, saya pasti akan keluar. Saya ceraikan istri saya. Atau

syahadatnya ditambahai embel-embel lain, saya tidak akan mau. Kami ini

Islam,” tuturnya.

Ia lalu bercerita panjang lebar tentang Ahmadiyah. Pendengaran saya

mengabur. Saya malah teringat suatu ketika di kantor Bandung. Seorang

Asisten Redaktur yang kubikelnya di sebelah saya mengatakan, “Kalau

Ahmadiyah itu hajinya ke India,” katanya.

Gara-gara kesalahan itu orang Ahmadiyah tidak bisa naik haji. Menurut

cerita baoak itu tadi, ada seorang Ahmadiyah Sukabumi ditolak naik haji

sampai tiga kali karena ia diketahui seorang Ahmadi. Entah bagaimana

ceritanya akhirnya dia sampai ke tanah suci.

Setelah semua informasi yang kami butuhkan telah kami catat, kami pamit.

Kami bersalaman dan bertukar senyum hangat. Ketika ban sepeda motor syaa

menggelinding menjauhi masjid itu, ada sesuatu yang ingin saya pendam.

Permintaan maaf. Entah… tapi saya ingin meminta maaf pada mereka.

Mereka yang harus menanggung akibat atas kepicikan ini. Kepicikan

orang-orang yang tidak bisa beragama dalam keheningan.

Liputan saya selanjutnya mengantarkan saya ke RS SYamsudin SH, RS milik

Pemerintah Kota Sukabumi untuk bertemu dengan seorang pasien. Sikap

manajemen rumah sakit yang berusaha menghalang-halangi kami mengantarkan

saya dan dua wartawan lain bertemu dengan petingging Komisi III DPRD

Kota Sukabumi, saya tak ingat namanya karena itu pertemuan pertama kami.

Tapi teman-teman memanggilnya Abah. Atas bantuannya kami diperkenankan

menemui pasien yang kami tuju.

Di sela-sela pertemuan itu, Abah berceloteh tentang Ahmadiyah. “Saya

sudah tegaskan, tidak boleh ada penganut Mirza Ghulam Ahmad di Kota

Sukabumi. Ahmadiyah harus dibubarkan,” kata anggota dewan yang terhormat

itu. Saya tak tahu ia dari partai apa. Saya kaget.

Ucapannya membuat saya tak ingin berbincang apapun tentangnya. “Ini

wakil rakyat kita. Tidak salah kalau rakyatnya beringas,” gumam saya.

Tidak cukup sampai di situ. Saat berada di ruangan pegawai di salah satu

bangsal di RS itu, ia berkata “Siapa yang ikut Mirza Ghulam Ahmad, biar

saya pecat dari sini,” katanya. Mungkin dia bercanda, tapi sungguh tidak pantas bercanda semacam itu. Tapi saya tak melihat wajahnya sedang bercanda.

Perawat-perawat itu bingung. Ada yang

menyeletuk, “Siapa sih dia?” Begitu dijelaskan bahwa ia adalah pemuka

Ahmadiyah, mereka hanya menyahut “Oooohhh”.

GILA! Kebencian itu bisa disebarkan dengan mudah oleh seseorang yang

berlabel anggota DPRD. Seseorang yang dianggap terhormat karena mewakili

rakyat sebagai pemegang mandat tertinggi di negara ini. Benar kata

@kopiganja, seseorang yang saya kenal di twitter. Kebencian itu sudah

melembaga. Bahkan di lembaga tinggi semacam DPRD.

Tuhanku, inikah yang Kau harapkan? Pembelaan macam inikah yang kau

inginkan?

mereka kira membubarkan Ahmadiyah akan menyudahi pertikaian ini. Tanpa

pernah berkaca, mereka selalu menuding Ahmadiyah lah yang salah. Padahal

ketika membubarkan Ahmadiyah, mereka hanya akan mencerai-beraikan

organisasinya. Tapi tidak dengan keyakinannya.

“Kami akan semakin kuat. Dengan nyawa kita akan pertahankan,” kata bapak

yang saya temui di masjid sebelumnya.

Dan jika saya menjadi dia,saya pun akan berbuat yang sama. Ketika saya

ditekan, saya akan memperkuat pertahanan diri. Saya akan semakin kokoh.

Saya mengutuk berbagai adegan film yang mempertontonkan bagaimana nazi

memburu Yahudi seperti binatang. Dan kenyataan itu kini hampir menjadi

kenyataan di negara saya sendiri. Yang mengaku Berketuhanan Yang Maha

Esa. Diam-diam saya menangis. Perih.

Perih itu lalu berganti marah. Saat mengingat pemimpin negeri ini hanya

bisa bilang “Prihatin”. Lelah sudah dengan segala macam keprihatinannya.
Kalau semua ini dibiarkan, bagaimana jika suatu hari kelak anak saya

yang akan dikuliti tubuhnya, digantung, dipukuli lalu dibiarkan mati

dengan luka di sekujur tubuhnya. Dan diiringi pujian kepada Tuhan yang

Maha Besar. Hanya karena keyakinan yang berbeda…

Setelah membaca ini apakah Anda berpikir saya sesat? Tak apa… Silakan

saja. Saya juga tak perlu mengumbar bagaimana hubungan saya dengan Tuhan

kepada Anda.

Satu hal yang saya yakini, kemanusiaan bersumber pada hati. Hati yang

baik tidak akan membenci atau mencelakai orang lain. Saya ingin menjaga

hati ini, supaya senantiasa bersih. Dengan begitu saya bisa tetap

menjaga kepekaan saya dan tetap manusiawi. Jika dengan begitu masih

dianggap sesat, terserah saja…

Kriminal: Kejahatan, Kelucuan dan Kepiluan

Berada jauh dari kantor pusat ada plus dan minusnya. Plusnya, kita ga perlu mendengarkan redaktur teriak-teriak untuk ngasih tugas atau menanyakan hal-hal yang kurang jelas dari berita yang kita tulis. Minusnya, kami yang di daerah bertanggung jawab atas semua peristiwa. Tidak ada pembagian desk. Beda dengan di pusat, ada wartawan ekonomi, pemerintahan, politik, hukum, kriminal, olah raga, laporan khusus, pendidikan, kesehatan. Semua ada kewajibannya masing-masing. Di daerah, semua hal ya harus bisa dicover oleh wartawan di wilayah itu. Biasanya di satu wilayah ada satu atau dua orang wartawan. Itu masih lebih baik, ada media yang tiga kabupaten digarap satu orang wartawan. Jangan dibayangkan capeknya, karena membayangkan saja bisa melelahkan.

Waktu tugas di Bandung, liputan yang saya paling tidak pahami adalah liputan kriminal. Karena kriminal itu selalu identik dengan kejadian yang melibatkan polisi. Tidak hanya penjahat, bisa kecelakaan, bisa tragedi berdarah dan sebagainya. Entahlah… tapi menurut saya peristiwa kriminal tidak membuat saya tentram. Suatu kali saya pernah meliput acara konser musik yang berujung maut, 11 orang tewas terinjak-injak. Di kamar mayat RS Hasan Sadikin Bandung, jasad pemuda-pemudi itu dijejerkan di lantai. Tubuhnya kaku seperti manekuin yang dipasang di toko baju.

Puluhan wartawan memadati kamar mayat. Mengambil gambar yang diperlukan untuk visualisasinya. Beruntung saya tidak harus memotret karena ada fotografer yang menemani. Kamar mayat yang biasanya senyap itu mendadak ramai, tidak ada kengerian seperti yang dikata orang selama ini. Tapi aroma khas kamar mayat tak bisa hilang. Selalu menempel, bahkan biasanya menempel di baju yang kita kenakan.

Tapi pikiran saya tidak tenang. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikiran saya. “Apa anak-anak ini sudah sempat pamit ke orang tuanya?” “Seperti apa ketika maut itu datang?” “Dan perlukah semua gambar-gambar macam ini ditampilkan?” “Bagaimana orang tuanya?” dan pertanyaan-pertanyaan lain.

Walhasil meski lelah luar biasa dan waktu sudah berjam-jam lewat tengah malam, mata ini tak bisa terpejam. Padahal masih harus bangun pagi. Eeeeuuuuhhh!!

Di malam lain, saya sedang piket. Tiba-tiba terjadi kecelakaan lalu lintas yang merenggut dua nyawa. Saya pun dikirim ke kamar mayat untuk mengumpulkan data. Entah kenapa, petugas kamar mayat itu selalu menawarkan untuk melihat mayatnya. “Lihat aja ke dalam, neng,” katanya.

Awalnya saya menggeleng. Saya bisa menceritakan peristiwa itu tanpa melihat jasad korban. Teman saya yang datang bersama saya bilang, “Masuk aja, biar tahu lukanya dimana,” ujarnya. Saya bersikeras menolak. kami sempat “berdiskusi” perlu tidaknya melihat jasadnya. Atas pertimbangan ini adalah korban tabrak lari, maka sebaiknya dilihat untuk mengetahui dan memastikan ciri-ciri korban. Harapannya bisa menemukan pelaku dan barangkali saja ada saudara korban yang belum tahu.

Baiklaaaahhh!!! Saya masuk. Dan saya hanya terpaku melihat dua jasad bapak anak itu terbujur kaku. “Nggak lagi-lagi,” kata saya dalam hati.

Semalaman saya tidak bisa bisa tidur. Saya menangis, ingat bapak di rumah. Kala itu, bapak saya masih ada. Norak ya, wartawan ko penakut. Tapi begitulah keadaannya. Waktu tes masuk juga ga ada tes lihat mayat dulu.

Berada di daerah, mau tidak mau ya harus mau meliput hal-hal macam itu. Malah, berita yang seperti itu yang “laku”. Berdasarkan pengalaman, berita yang ditayangkan juga bergantung pada “selera” redaktur. Ada redaktur yang tidak menganggap penting sebuah kecelakaan lalu lintas, meskipun ada satu korban jiwa. Tapi kalau korbannya dalam jumlah besar, semua redaktur pasti sepakat semua untuk jadi head line.

Tapi ada juga redaktur yang masih suka dengan berita-berita TKP (Tempat Kejadian Perkara, begitu biasanya menyebut berita peristiwa kriminal). Misalnya, penemuan mayat terbakar yang diduga korban pembunuhan. Atau pesta miras yang menelan korban jiwa.

Pada intinya, kriminal itu masih menjadi berita penting yang harus diliput.

Di daerah cukup sering berita-berita TKP macam itu. Tak selalu berdarah-darah. Ada juga yang lucu, tapi ada juga yang memilukan.

Beberapa hari lalu ada pemilik mobil sedan yang lapor ke polisi karena mobilnya dirusak orang. Pelakunya ikut diserahkan ke polisi karena tertangkap tangan oleh warga di sekitar tempat kejadian. Tenryata setelah diinterogasi polisi diketahui pemuda yang tertangkap itu tidak waras. Pengakua demi pengakuannya justru menimbulkan tawa.

“Saya cuma menjilat dan menggigit mobil itu. Siapa tahu saja ada milik. Saya ingin punya juga, kemarin sih sudah tanya-tanya harganya. Harganya Rp 320 juta. Yah duitnya dapat dari kerja, mungkin jadi sales. saya suka dengan Vios. Kalau lihat Vios itu seperti lihat perempuan. Enak dilihat, jadi ingin ngulik,” tutur si pelaku dalam bahasa Sunda (nggak bisa nulisnya, belum lancar Bahasa Sunda :p )

Pada momen yang lain, saya dibuat pilu dengan seorang laki-laki yang baru diturunkan dari mobil polisi. Dia disangka mencuri sebuah timbangan di masjid. Timbangan besi yang berbentuk panjang seperti yang dibuat menimbang balita. Anda pernah lihat? Yah seperti itulah kira-kira.

Polisi mengajukan berbagai pertanyaan, dengan nada yang tinggi. Saya tidak tahu, mungkin begitu caranya membuat pencuri mengaku. Si lelaki yang ditanyai menunduk.

Saya menelan ludah, lidah jadi kelu. Saya menunduk juga. Saya mundur perlahan. Dari kejauhan saya lihat dia digelandang dengan telanjang dada dan tangan diborgol. Polisi memegangi tengkuknya. Ada seorang teman yang memotret dari depan.

Ah… pasti bapak itu malu. Mungkin juga menyesal. Mungkin dia mencuri karena tidak bisa bayar listrik, atau belum beli susu buat anaknya. Atau mungkin dia hanya mau pinjam, tapi tidak bilang. Mungkin ada himpitan yang memaksanya melakukan itu. Atau malah dia mengidap penyakit yang suka mengambil barang orang lain? Dia butuh pertolongan.

Tidak tega tapi juga tidak bisa membantu apa-apa. Saya memilih minggir, diam.

Saya ini emosional. Semua-semua dirasa. Kok ya bisa jadi wartawan, aneh juga ya… Tapi mungkin semua juga seperti saya, tapi semua juga diam seperti saya.

Kalau saya merasa hidup saya sungguh sesak dan tidak menyenangkan, bagaimana dengan orang-orang itu? Bagaimana dengan keluarganya? Saya harus bersyukur… Kita semua memang harus bersyukur… Setiap apa yang dilihat sepatutnya bisa diambil pelajaran. Yah, begitu saja.

“Selamat Datang di Kota Sukabumi”

Selasa, 11 Januari 2011

Perusahaan tempatku bekerja managih janji yang pernah kuucapkan sekitar tiga tahun lalu. Janji itu terlontar pertama kali saat staf Bagian Sumber Daya Manusia (SDM) yang meng-interview kami, lebih dari 1.000 orang pelamar yang antri jadi wartawan. “Apakah bersedia ditempatkan di mana saja?” Mantap aku menjawabnya, “Siap!”. Aku sudah biasa pindah tempat, pikirku kala itu.

Sejak SMP aku sudah terbiasa meninggalkan lingkunganku untuk mencari tempat baru. Ketika teman-teman se-SMP memilih SMA yang tidak terlalu jauh dari rumah, aku memilih sekolah yang harus memakan waktu 1 jam perjalanan. “Biar teman-temannya beda,” alasanku kala itu.

Sebenarnya sudah sejak lulus SD aku berniat melanjutkan sekolah di kota (maklum anak desa), tapi ibuku waktu itu tidak setuju. “Badanmu itu kecil, kalau di terminal dimasukin orang ke karung dibawa lari nggak akan ketahuan,” kata ibuku beralasan. (Tapi itu dulu, sekarang malah susah ngecilin badan hahaha)

Sebelum yang baca bingung, jadi begini, aku lahir dan tinggal di Malang. Tepatnya di Kelurahan Candirenggo Kecamatan Singosari Kab. Malang Jawa Timur. Letaknya sekitar 15 km dari pusat Kota Malang. Teman-temanku sering protes kalau aku bilang asal Malang, menurut mereka Singosari itu bukan Malang. Lalu aku harus bilang apa, lha wong memang Kab. Malang kok. Tapi ya sudahlah… saya memang dari kampung. Mau gimana lagi :p

Teman-teman yang saya maksud itu teman-teman jaman SMA. Karena kebanyakan mereka memang orang Kota Malang. SMA ku berada di jantung kota bunga itu. SMA 3 Malang, letaknya di komplek SMA Tugu. Nggak salah sih kalau pada akhirnya mereka bilang saya bukan orang kota.

Lulus SMA, saya memilih untuk sekolah di Surabaya. Tidak jauh dari Malang. Sebelum Lapindo membedah perut bumi dan memuntahkan lumpur hitam pekat di Porong (Sidoarjo), jarak tempuh Malang-Surabaya hanya 2 jam saja. Tapi sejak lumpur menelan jalan tol, maka jarak tempuhnya menjadi berlipat. Tidak bisa diperkirakan lagi.

Lalu ketika lulus, aku ingin mewujudkan keinginanku selanjutnya. Waktu itu aku terobsesi dengan tiga kota, Bandung, Yogyakarta dan Bali. Di tiga kota itulah aku ingin menghabiskan waktuku selanjutnya. Maka aku mulai mencari kerja di Bandung. Ternyata Tuhan memberi jalan. Sejak November 2007 aku tinggal di Bandung.

“Terhitung sejak 24 Maret 2011 Anda ditugaskan di daerah peliputan Kota Sukabumi,” begitu kira-kira Surat Keputusan Pemimpin Redaksi yang aku terima sore hari menjelang dedlen.

Kota Sukabumi? tidak pernah terlintas akan tinggal di kota itu. Meskipun aku berpacaran dengan seseorang yang tinggal di Sukabumi, tidak pernah terlintas akan berdiam di sana. Tenaaaang… ini sudah biasa terjadi. Pindah kota, hanya soal mengangkut barang ke tempat yang baru, berkenalan dengan orang baru dan menikmati suasana baru ini.

Tapi ternyata tidak semudah seperti yang sudah-sudah. Hari kepindahan itu, ibu kos yang aku tumpangi hampir tiga tahun berurai air mata. Pelukannya erat, air matanya mengalir deras. Aku terseret. Air mataku ikut tumpah.

Semalam sebelumnya, air mata juga tumpah setelah berkumpul dengan sahabat-sahabat. Aaaahhh memilukan.

Kebetulan, pacarku yang berprofesi sama juga dipindahtugaskan. Dari Bandung ke Tasikmalaya. Tidak jauh memang. Masih satu provinsi. Tapi sejak hampir seluruh waktu kami tersandera pekerjaan, berada di dua kota yang berbeda itu tetap saja akan membuat perbedaan.

So, here I am…. Kota Sukabumi. Kota kecil yang menyenangkan meski tak ada bioskop :p

Aku tak tahu sampai kapan aku akan berada di sini. Aku hanya berharap bisa melewatinya dengan baik. Setidaknya, keberadaanku di sini bisa memberi sedikit manfaat.

Bagiku, kepindahan ini juga sebagai perwujudan janji. “Bersedia ditempatkan di mana saja”. Karenanya aku tak pernah sekalipun berusaha menawarnya. Aku tak mau merajuk kepada pimpinan untuk menunda atau membatalkan penugasan ini. Aku pun tak iri dengan mereka yang berhasil membuat perusahaan berubah pikiran. Sebab apa enaknya hidup di atas ingkar. Ingkar atas ucapan sendiri.

Aku siap… meniti satu jalan baru… karena ini adalah bagian dari ribuan langkahku meniti jagad ini…

Semangaaatttt!!! 🙂

Langkah pertama…

20120309-125303.jpg
Sumber foto: dreamstime.com

A journey of a thousand miles must begin with a single step
Lao Tzu
Bagi saya, setiap langkah itu berarti. Semuanya menguntai cerita. Langkah pertama ikut menentukan langkah kedua dan seterusnya.
Buat saya tidak ada loncatan. Seperti meniti anak tangga, satu per satu. Yang membedakan hanyalah besarnya tenaga yang mempengaruhi seberapa lebar langkah kita. Kadang terlalu lemah untuk melangkah sehingga hanya menghasilkan langkah pendek. Tapi ada saatnya begitu mantap sehingga menjadi pijakan yang kuat dengan lebar yang optimal. Kadang juga terlalu malas, sehingga langkahnya menyeret.
Tapi semuanya mengandung cerita yang sepantasnya diingat. Karena esok adalah pertanggungjawaban kita atas hari ini.
Di sini, saya ingin mengingat setiap langkah yang saya jalani. Syukur-syukur kalau Anda yang membaca bisa memetik manfaat pula. Saya yakin, hidup ini terlalu indah untuk disimpan sendiri.
Mari bersama-sama saya, meniti jagad ini…