Ke(tidak)adilan Bagi Mereka

Saya menyukai Sukabumi. Sangat!

Berpuluh-puluh kilometer perjalanan yang ditempuh untuk satu liputan, tak pernah ada pemandangan yang mengecewakan. Oke, memang ada macet. Utamanya di depan pasar-pasar tradisional. Tapi di balik pasar ruwet itu ada gunung yang terbaring begitu indahnya. Suatu saat saya naik ke puncak gunung untuk melihat kebun tomat. Awannya luar biasa indah… Perpaduan warna biru dan putih yang menawan… Sekarang saya tahu kenapa ada warna biru langit. Birunya aduhai!

Selain pemandangannya, saya merasa beruntung berada di Sukabumi. Saya bertemu orang-orang yang sangat baik. Kawan-kawan wartawan di sini baik-baik. Umumnya laki-laki. Seringnya saya perempuan sendiri waktu liputan. Sebagai orang baru, saya merasa diterima dengan baik. Mereka tak pernah segan memberitahu tentang banyak hal. Seringkali – kalau tak mau dibilang selalu – saya dibonceng saat liputan. Pertama karena belum hapal jalan, kedua karena mereka iba pada saya J

Di sepanjang perjalanan itu kami bertukar kisah. Bagaimana pergulatan mereka yang mayoritas berstatus kontributor televisi. Di setiap peliputan, wartawan televisi selalu mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Rupanya banyak yang dari mereka yang ingin masuk televisi. Makanya ketika kamera dikeluarkan, seperti mantra yang menyihir kaum awam. Gagah, begitu mungkin penilaian mereka.

Saya setuju kalau mereka dinilai gagah. Bukan hanya karena memanggul kamera. Tetapijuga etos kerja yang luar biasa. Bayangkan, jam berapapun ada peristiwa mereka siap siaga. Tak peduli anaknya sedang merindu karena bapaknya jarang di rumah. Tak peduli istri minta antar ke pasar. Bahkan tak peduli dengan perut yang sedari siang belum diisi nasi. Tak peduli terikany matahari, ataupun kelamnya malam. Demi gambar berkualitas wahid, mereka rela menanggalkan berbagai keinginan mereka.

Sebenarnya kebutuhan saya sebagai jurnalis media cetak, tidak sama percis dengan mereka, tapi dengan semangat mengenali wilayah lebih baik, saya sering ikut mereka. Toh saya di Sukabumi tak ada kegiatan lain.

Suatu kali akang yang membonceng saya bercerita panjang lebar tentang susahnya jadi kontributor televisi. Bagaimana hari-harinya dilewati dengan membatin berapa berita yang sudah ditayangkan. Dan mengeluhkan kenapa honor tak cair tepat waktu. Saya sempat geleng-geleng, sebab media yang mempekerjakannya adalah media televisi nasional yang popularitasnya tidak diragukan lagi.

“Kamu tahu gaji si X (dia menyebut seorang anchor), gajianya bisa puluhan juta,” katanya.

Ada ketidakadilan yang sudah membudaya. Kontributor daerah itu kerjanya luar biasa, tapi dia hanya dihargai setiap berita yan ditayangkan. Tak ada asuransi jiwa yang memadai. Tak ada tunjangan untuk keluarga. Tak ada bonus. Tak ada tunjangan transportasi atau uang makan.

Kalau berita mereka dianggap bagus, stasiun televisi itu akan mendatangkan tim dari Jakarta. Mereka membuat peliputan yang lebih komplit. Penilaian saya, kontributorlah yang punya peran penting!

Tapi apa balasan stasiun televisi itu? Bahkan status karyawan pun tak diberikan. Ironis!

Ketika mereka meliput buruh yang berteriak meminta tunjangan, mereka pun tak pernah berhak atas tunjangan.

Stasiun televisi juga jarang yang memberikan pelatihan atau semacam pendidikan bagi kontributor mereka. Mereka belajar mengoperasikan kamera sendiri. Belajar membuat naskah sendiri. Semuanya berguru pada pengalaman.

Tapi banyak juga kontributor yang sudah mapan. Sehingga bisa mengambil stringer. Juga diupah sesuai dengan berita yang ditayangkan, tentu saja atas nama kontributornya.

“Persis seperti jualan berita,” ujar kawan saya tadi.

Sedih rasanya mendengar itu. Keletihan kami sama. Risiko yang kami hadapi sama besarnya. Tapi setidaknya saya tak pernah memusingkan berapa berita yang dimuat. Setiap bulan saya menerima gaji dan tunjangan yang tidak bisa saya bilang kecil, meskipun bagi orang lain barangkali tak bisa disebut besar juga. Tapi ada kepastian. Saya punya hak dan kewajiban yang jelas.

Bahkan ada stringer televisi lokal yang belum dibayar meski sudah liputan beberapa bulan. Alasannya, karena biro yang baru saja dibuka di Sukabumi belum beroperasi. Sedih L

Kondisi seperti itu, berdampak pada banyak hal. Misalnya, ketika bertemu dengan nara sumber yang kemudian memberi “uang saku”. Sungguh sebuah rezeki yang sulit ditolak. Apalagi jika bulan itu berita sedang sepi.

Saya tidak menyalahkan mereka. Saya tidak mau memaksakan kondisi ideal atas nama kode etik. Mereka punya tuntutan hidup yang tak pernah bisa dicegah. Saya bisa menolak karena saya sudah merasa cukup dengan gaji saya yang tidak seberapa itu.

Kalau mau idealis, perusahaan punya tanggung jawab untuk memperbaiki sistemnya. Jangan Cuma mentereng di Jakarta, sementara di daerah mereka membiarkan kontributornya sebagai anak tiri. Mau hasil kerjanya, tapi tak mau bertanggung jawab.

Saya bersyukur, meskipun surat kabar tempat saya bekerja bukan media nasional. “Hanya” skala Jawa Barat, tapi mereka tidak membiarkan kami terkatung-katung. Itu pun kami masih sering mengeluh. Kurang ini, kurang itu. Tak pernah ada kata puas. Makanya masih banyak wartawan yang sudah digaji layak pun masih saja terima uang dari sana-sini. Membuat proyek sampingan sampai sampai menjual halaman. Menyedihkan!

Di Sukabumi saya belajar banyak. Tentang kerja keras dan syukur….

Sungguh tak pantas saya bermalas-malasan… atau mengeluhkan tentang banyak hal… Hidup tidak sekadar untuk diratapi…

Bergerak dan berbuat…

Untuk kawan-kawan kotributor televisi di manapun kalian berada…

Rasa hormat setinggi-tingginya atas kesanggupan menapaki hidup seperti itu… Hidup penuh dengan ketidakpastian, benarlah adanya. Namun tak pernah ada kata menyerah… Semangat!