Lelaki berkaos biru bercelana kain hitam itu menghampiri kami, beberapa
wartawan yang menunggunya di Masjid Bilal, Kota Sukabumi. Masjid itu
terletak sekitar 10 meter dari kediamannya. Di dekat masjid itu ada
semacam sekretariat yang isinya ada televisi, seperangkat meja kursi dan
buku-buku yang tersusun rapi di rak.
Senyum ramahnya mendatangi kami sejurus dengan langkahnya yang semakin
mendekat. Ia ulurkan tangannya bersalaman. Ia memperkenalkan diri
sebagai Mubaliq Ahmadiyah untuk wilayah Sukabumi dan Cianjur. Namanya
Dili Sadeli Fathol Ahmad.
Kami mulai berbincang. Dia mulai mengungkapkan sikapnya terkait Tragedi
Cikeusit yang menghilangkan nyawa 4 orang jamaah Ahmadiyah. Singkatnya,
tak akan ada penggalangan massa. Soal pengamanan, ia menyerahkan kepada
aparat kepolisian.
Ah.. bagaimana mungkin dia masih percaya dengan aparat kepolisian.
Sementara dari yang sudah-sudah, tidak banyak yang bisa dicegah. Tapi
kan polisi di sana dan di sini beda. Barangkali di daerah lain polisi
tak bisa lagi dipercaya, tapi di Kota Sukabumi tidak begitu. Polisi
masih menjadi tumpuan.
Di tengah-tengah perbincangan kami, mata saya terjebak pada tulisan yang
tertera di bagian belakang kaos yang dikenakan Dili.
CINTA UNTUK SEMUA ORANG
TIDAK ADA KEBENCIAN BAGI SIAPAPUN
Sadarkah dia dengan tulisan yang ia kenakan?
sementara faktanya, baru dua hari sebelumnya saudara yang memeliki
keyakinan sama dengannya diberangus massa. Empat orang kehilangan
nyawanya demi sesuatu yang mereka yakini. Keyakinan yang dianggap
melenceng oleh mereka yang menamakan dirinya “mainstream”.
Jika aku menjadi Dili, saya akan tanggalkan kaos itu. Tak akan pernah
aku pakai lagi selama kebencian itu masih dipupuk bahkan dilembagakan.
Hati saya masih perih. Tak sudi aku mengagung-agungkan cinta jika yang
aku tuai adalah kebencian dan kemarahan.
“Saya menghormati pendapat orang lain. Siapapun boleh berpendapat di
negara ini. Tapi persoalan keyakinan adalah domain Tuhan. Tidak ada yang
bisa mencampuri keyakinan seseorang,” katanya menanggapipernyataan
pemuka salah satu organisasi agama yang menginginkan Ahmadiyah menjadi
agama baru dan melepas atribut ke-Islam-an.
“Kami shalat lima waktu, syahadat kami sama, kiblat kami sama, kitab
suci pun sama. Saya ini Islam. Apakah saya harus mengingkari keyakinan
saya sebagai orang Islam?”
Saya tercekat. Saya tidak bisa menjawab apapun meskipun saya ingin
bilang “Anda benar”. Saya menunduk. Saya merasa dia lebih Islam dari
saya. Tapi mereka yang harus dikejar dan dijadikan sasaran amuk massa.
Seseorang yang belakangan saya tahu berasal dari kepolisian menghentikan
pembicaraan kami dengan Deli. Seorang bapak-bapak, usianya lebih dari 50
tahun. Janggutnya putih. Ia mengenakan kopyah putih, sehingga tak tampak
apakah rambutnya pun berwarna putih atau tidak. Ia meyebutkan nama, tapi
saya hanya mendengarnya samar. Ia mengaku asli Padang.
Gurauannya tentang jenggot mengantarkan kami masuk pada pembicaraan yang
lebih serius. “Saya ini dulu ikut jemaah tablig. Saya juga pernah ikut
berbagai organisasi, mulai dari Persatuan Islam dan Muhamadiyah. Tapi
kemudian daya berhenti di Ahmadiyah. Di sini saya menemukan kekhusyukan
menjalankan syariat Islam,” kata bapak itu yang mengaku bergabung dengan
Ahmadiyah sepuluh tahun silam.
“Selama ini kami sudah banyak difitnah. Kami dibilang mengakui nabi lain
setelah Muhamad. Padahal tidak pernah sekalipun kami menyebut Mirza
Ghulam Ahmad sebagai nabi. Kami disangka naik haji ke India. Kiblat kami
katanya berbeda. Padahal tidak begitu. Sebelum masuk Ahmadiyah saya
berdebat dulu. Saya tidak bodoh sehingga mau masuk begitu saja. Fiqih
saya kuat, sejak kecil saya sekolah agama. Kalau syahadatnya lain dengan
Islam, saya pasti akan keluar. Saya ceraikan istri saya. Atau
syahadatnya ditambahai embel-embel lain, saya tidak akan mau. Kami ini
Islam,” tuturnya.
Ia lalu bercerita panjang lebar tentang Ahmadiyah. Pendengaran saya
mengabur. Saya malah teringat suatu ketika di kantor Bandung. Seorang
Asisten Redaktur yang kubikelnya di sebelah saya mengatakan, “Kalau
Ahmadiyah itu hajinya ke India,” katanya.
Gara-gara kesalahan itu orang Ahmadiyah tidak bisa naik haji. Menurut
cerita baoak itu tadi, ada seorang Ahmadiyah Sukabumi ditolak naik haji
sampai tiga kali karena ia diketahui seorang Ahmadi. Entah bagaimana
ceritanya akhirnya dia sampai ke tanah suci.
Setelah semua informasi yang kami butuhkan telah kami catat, kami pamit.
Kami bersalaman dan bertukar senyum hangat. Ketika ban sepeda motor syaa
menggelinding menjauhi masjid itu, ada sesuatu yang ingin saya pendam.
Permintaan maaf. Entah… tapi saya ingin meminta maaf pada mereka.
Mereka yang harus menanggung akibat atas kepicikan ini. Kepicikan
orang-orang yang tidak bisa beragama dalam keheningan.
Liputan saya selanjutnya mengantarkan saya ke RS SYamsudin SH, RS milik
Pemerintah Kota Sukabumi untuk bertemu dengan seorang pasien. Sikap
manajemen rumah sakit yang berusaha menghalang-halangi kami mengantarkan
saya dan dua wartawan lain bertemu dengan petingging Komisi III DPRD
Kota Sukabumi, saya tak ingat namanya karena itu pertemuan pertama kami.
Tapi teman-teman memanggilnya Abah. Atas bantuannya kami diperkenankan
menemui pasien yang kami tuju.
Di sela-sela pertemuan itu, Abah berceloteh tentang Ahmadiyah. “Saya
sudah tegaskan, tidak boleh ada penganut Mirza Ghulam Ahmad di Kota
Sukabumi. Ahmadiyah harus dibubarkan,” kata anggota dewan yang terhormat
itu. Saya tak tahu ia dari partai apa. Saya kaget.
Ucapannya membuat saya tak ingin berbincang apapun tentangnya. “Ini
wakil rakyat kita. Tidak salah kalau rakyatnya beringas,” gumam saya.
Tidak cukup sampai di situ. Saat berada di ruangan pegawai di salah satu
bangsal di RS itu, ia berkata “Siapa yang ikut Mirza Ghulam Ahmad, biar
saya pecat dari sini,” katanya. Mungkin dia bercanda, tapi sungguh tidak pantas bercanda semacam itu. Tapi saya tak melihat wajahnya sedang bercanda.
Perawat-perawat itu bingung. Ada yang
menyeletuk, “Siapa sih dia?” Begitu dijelaskan bahwa ia adalah pemuka
Ahmadiyah, mereka hanya menyahut “Oooohhh”.
GILA! Kebencian itu bisa disebarkan dengan mudah oleh seseorang yang
berlabel anggota DPRD. Seseorang yang dianggap terhormat karena mewakili
rakyat sebagai pemegang mandat tertinggi di negara ini. Benar kata
@kopiganja, seseorang yang saya kenal di twitter. Kebencian itu sudah
melembaga. Bahkan di lembaga tinggi semacam DPRD.
Tuhanku, inikah yang Kau harapkan? Pembelaan macam inikah yang kau
inginkan?
mereka kira membubarkan Ahmadiyah akan menyudahi pertikaian ini. Tanpa
pernah berkaca, mereka selalu menuding Ahmadiyah lah yang salah. Padahal
ketika membubarkan Ahmadiyah, mereka hanya akan mencerai-beraikan
organisasinya. Tapi tidak dengan keyakinannya.
“Kami akan semakin kuat. Dengan nyawa kita akan pertahankan,” kata bapak
yang saya temui di masjid sebelumnya.
Dan jika saya menjadi dia,saya pun akan berbuat yang sama. Ketika saya
ditekan, saya akan memperkuat pertahanan diri. Saya akan semakin kokoh.
Saya mengutuk berbagai adegan film yang mempertontonkan bagaimana nazi
memburu Yahudi seperti binatang. Dan kenyataan itu kini hampir menjadi
kenyataan di negara saya sendiri. Yang mengaku Berketuhanan Yang Maha
Esa. Diam-diam saya menangis. Perih.
Perih itu lalu berganti marah. Saat mengingat pemimpin negeri ini hanya
bisa bilang “Prihatin”. Lelah sudah dengan segala macam keprihatinannya.
Kalau semua ini dibiarkan, bagaimana jika suatu hari kelak anak saya
yang akan dikuliti tubuhnya, digantung, dipukuli lalu dibiarkan mati
dengan luka di sekujur tubuhnya. Dan diiringi pujian kepada Tuhan yang
Maha Besar. Hanya karena keyakinan yang berbeda…
Setelah membaca ini apakah Anda berpikir saya sesat? Tak apa… Silakan
saja. Saya juga tak perlu mengumbar bagaimana hubungan saya dengan Tuhan
kepada Anda.
Satu hal yang saya yakini, kemanusiaan bersumber pada hati. Hati yang
baik tidak akan membenci atau mencelakai orang lain. Saya ingin menjaga
hati ini, supaya senantiasa bersih. Dengan begitu saya bisa tetap
menjaga kepekaan saya dan tetap manusiawi. Jika dengan begitu masih
dianggap sesat, terserah saja…
anakmu mah nanti ga pernah ke gereja 🙂
Orang bisa membubarkan kerumunan, organisasi, kumpulan orang. Tapi bagaimana orang bisa membubarkan keyakinan?
Bisa-bisanyaaa orang ngatain orang lain sesat. Siapa tau di mata Tuhan justru dirinya yang lebih “sesat.”
Tapi begitulah, di Indonesia ini kata sesat & kafir memang bermakna 100 kali lebih mengerikan daripada koruptor & pembunuh.
Keep on writing.
We need your eyes.
Maka itu disebut keyakinan… karena hati yang bicara…
Nah itu dia… koruptor seringkali lebih mudah mendapatkan pengampunan ketimbang penganut aliran sesat…
Mengerikan…
Hari ini, mereka yang dibilang sesat… Siapa tahu besok, kita yang akan dituding sesat… lalu diburu…
Sependek pengetahuan saya, ada 2 ahmadiyah, yang mengakui mirza sebagai nabi dan yg tidak.
Tapi, pemerintah ga bisa menghukum seseorang atas keyakinannya, pikirannya.
Mungkin kali ini Ahmadi, bisa jadi besok kita yang diburu atas nama tuhan 😦
Tepat sekali… Negara seharusnya melindungi warganya, tanpa memandang keyakinannya apa… Sudah jelas dalam Pancasila, setelah Ketuhanan ada Kemanusiaan… Yang terjadi sekarang, memburu manusia demi Ketuhanan…
dan semoga tercipta keadilan dan kedamaian bagi seluruh umat manusia sesuai dengan kaos yang dipakai si Dili
*salam kenal
Salam kenal juga…
terimakasih sudah sudi mampir, semoga tidak kapok 🙂